Oleh : irwansyah Maulana
Jika kita melintas ke arah Stasiun Kota, Jakarta Utara, nampak mobilisasi manusia bermata sipit dengan sisa-sisa bangunan yang terbakar akibat tragedi berdarah (reformasi) beberapa waktu silam. Saat itu dalam sesaat, mereka yang mengatasnamakan orang pribumi (WNI) membakar rumah, menjarah, menculik bahkan tak segan memperkosa orang-orang suku bangsa Tionghoa (kini Cina) yang berkumpul disana untuk kegiatan perniagaan. Tragedi itu membawakan kisah runtuhnya rezim “Orde Baru” yang otoriter.
Seperti kita ketahui sejak ribuan tahun, leluhur orang Tionghoa dengan berbekal baju dan celana pendek khasnya secara bergelombang berimigrasi melalui kegiatan perniagaan di Indonesia. Peran mereka mengadakan bisnis dengan masyarakat setempat sudah ada sebelum bahkan sesudah Republik Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. Catatan sejarah menyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah kemudian menyuburkan lalu lintas perdagangan barang maupun jasa dari Cina ke Nusantara atau sebaliknya. Inilah rangkaian peristiwa yang tetap membekas diingatan kita.
Bergulirnya waktu, setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Namun ada bagian kelam yang dicoba untuk diendapkan lantas dihapus dari ingatan, yaitu sebuah kata Diskriminasi. Nyatanya diskriminasi masih kerap terjadi pada etnis Tionghoa. Buktinya untuk pendidikan banyak sekolah-sekolah bahkan sejumlah perguruan tinggi menempatkan orang-orang Tionghoa, menjadi siswa atau mahasiswa yang tidak diprioritaskan. Maka jangan heran rata-rata mereka lebih menempatkan anak-anaknya bersekolah dilingkungannya bahkan tak segan mengeluarkan kocek lebih hanya untuk belajar ke luar ngeri. Padahal dari zaman Penjajahan, Sukarno, Suharto sampai sekarang Etnis Tionghoa dianggap sebagai orang yang kaya raya. Bukan itu asset untuk sebuah lembaga atau perusahaan?.
1 Oktober hari lalu, kita memperingati hari Kesaktian Pancasila. Ini tonggak keberhasilan melumpuhkan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) lewat Gerakan 30 September (G 30 S PKI) yang notabencenya ditunggangi oleh kelompok komunis Cina. Dengan adanya keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000, membuka jalan dan memberikan kebebasan berupa hak dan kewajiban sipil yang sama bagi kelompok Tionghoa. Keputusan ini adalah berkat kesaktian identitas bangsa Indonesia Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Inilah kepribadian Indonesia sesungguhnya.
Tekad Bersama
Saat ini kita dikhawatirkan bangkitnya, ekonomi Tionghoa. Dari berbagai sumber menyebutkan keberhasilan Etnis Tionghoa tak lain dari berhasil mengarungi hidup dengan bekerja keras, maka sampai kini keberadaan mereka populasinya secara signifikan sangat meningkat bahkan telah menguasai 80 persen perekonomian Indonesia. Jika ini dibiarkan negeri ini akan terus digerus perlahan. Ini masalah serius dan segera dicarikan solusi terbaik. Jika tidak, dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan serius di waktu mendatang. Bangsa ini sudah banyak orang pintar, sudah sepatutnya memahami hal ini. Saat ini tidak boleh ada kata yang “harus dikalahkan”. Kiranya kehadiran etnis Tionghoa di Indonesia terus-menerus memberi warna bagi kebhinneka-tunggal-ikaan di masa kini dan di masa yang akan datang. Kita sadar kemerdekaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran warga etnis Tionghoa. Mereka sejak dulu telah memberikan dukungan tenaga, logistik bahkan senjata. Sebagai balas budi, dan mencorehkan sejarah kelam itu, keberagam; multi etnik, muti agama, suku dan budaya, sebagai sekat yang tak pernah terpisahkan, inilah simpul-simpul yang bisa saling menguatkan. Tinggal pemerintah mengatur sedemikian rupa agar etnis Tionghoa mampu menempatkan posisi dan porsinya.