Pengabdian Sunyi di dunia Disabilitas
Oleh : Abu Miftah ST
Sebut
saja namanya Solehudin, yang akrab dipanggil Pak Soleh, masyarakat Depok
teringat dengan kejadian kecelakaan beberapa tahun lalu. Gaya prilakunya yang
santun, aspiratif, dan inspiratif membuat
tetangganya mau mengali idenya dan termanfaatkan secara optimal.
Pagi masih
merangkak. Adzan Subuh masih belum terdengar, ketika seorang pria muda (35)
berbaju koko keluar dengan kursi rodanya dari rumahnya. Ia berangkat menjemput
panggilan Allah di daerah Beji, Depok, yang jauh dari pusat keramaian kota.
Jalan yang berkelok-kelok, berlubang, berbatu dan semakin mengecil tak
menyurutkan kursi roda pria tersebut untuk mengikuti bergegas sholat subuh di masjid
di daerah dekat rumahnya.
Dua Jam kemudian
matahari mulai memerah, Istrinya dan anak semata wayangnya Nazla Salsalbila (4
) juga bergegas untuk bekerja dan mengantarkan anaknya ke sekolah. “Bi aku
berangkat dulu ya,”ujarnya sambil mencium tangan suaminya. Dengan senyum ia pun membalas mencium kening
istrinya dan anaknya. Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah
istri yang sholihah. Begitulah sabda Rasulullah SAW, yang diikuti Pak
Soleh memilih Istrinya, Zubaidah (27).
Dari Zubaidah
inilah, istri yang setia mendampingi Pak Soleh selama ini. Zubaidah yang
berkulit putih selalu memberikan warna tersendiri bagi kehidupan Pak Soleh.
Kesholihahan dan kesabarannya telah menghasilkan satu putri yang sehat lagi
baik akhlaqnya di bawah bimbingannya.Keshalehannaya bukan hanya tampak dari raut
wajah, aktivitas dan tutur katanya yang lembut, namun lebih jauh dari itu, ia
adalah seorang Guru TK. Dengan bekal inilah ia membina keluarga bersama Zubaidah
yang mampu bercengkrama dengan anak dan suaminya dengan nuansa al-Qur’an.
Dukungan
al-Qur’an pula yang membuatnya termotivasi mendukung sang suami untuk terus
maju walau harus dengan kursi roda. Dengan tekun dan ikhlas, Zubaidah juga
harus membina beberapa majelis ta’lim. Dulu sang suami yang menghantarkan dan menemani
namun sejak kecelakaan itu, ia harus sendiri berjalan dari lorong satu dengan
lorong lainnya.
Kini, sang suami
harus berjalan dengan kursi roda, yang sebenarnya ditakuti olehnya. Namun,
dengan semangat al-Qur’an yang dihafalnya itu, wanita sholihah ini membisikkan
ke telinga sang suami tercinta, ”Majulah Abiku, kami semua ada di belakangmu…,”ujarnya.
Istri dan anaknyapun meninggalkan rumah petaknya.
Berangkat dari peduli pada anak-anak
Malamnya sehabis
shalat magrib, sang istri yang mengajar di TK, Depok, selalu berdoa dan agar suaminya
selalu menjadi kendaraan dan tumpuan keluarga untuk mencari nafkah meski harus
mengunakan kursi roda. “Ya, Allah mudah urusan keluargaku dan mudahkan rezeki
yang kau berikan. Hambamu masih berharap suami tercinta selalu semangat dalam
mencari nafkah,”tangisnya usai berdoa.
Walau
tonggak perjuangan bertumpu pada
penghasilan istri namun ada sinyal sebagian warga Depok agar kesediaan Pak
Soleh, sang penyayang anak mau melayani warga Depok untuk membuka dunia
pendidikan. Alhamdulillah, gayung bersambut, dalam waktu singkat dengan memohon
Petunjuk Sang Khalik, rumah petaknya dengan Luas 60 M2, disulap menjadi Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)
dan Taman Pendidikan al-Quran. “Sekolah ini akan menumbuhkan banyak simpati
berbagai kalangan dalam kualitas pendidikan di Beji, Depok,” pikir bapak yang
berpostur tubuh sedang ini.
Mulailah Pak
Soleh bersama istrinya secara pelan-pelan meniti kehidupan baru. Berkat
ketekunan Pak Soleh, masyarakat tersadarkan dengan sentuhan pendidik agama pada
anak-anaknya disekolahnya. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di kalangan
masyarakat bahwa Pak Soleh sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk
bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial ekonomi.
Hal lain pada
sekolah Pak Soleh, adalah pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non
formal, TPA pada sore hari. Pola pendidikan dan pembinaan semacam itu
dilakukan, baik kepada muridnya maupun
kepada masyarakat sekitar Beji. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian
menggunakan Dongeng, sehingga murid lebih mudah memahami.
Secara tidak
langsung, sekolah yang diasuh Pak Soleh ini nampaknya mendapat pengakuan yang
cukup luas di kalangan masyarakat. Walau perlahan namun terbukti semakin
banyaknya jumlah murid yang berdatangan. Kini Pak soleh, hari-harinya diisi dengan
mengajar di tengah himpitnya ekonomi keluarga. Setiap harinya ia sudah ditunggu
para anak-anak yang kemudian membawanya bertualang untuk mendengarkan cerita
“Dongeng” dengan boneka lucunya. Dengan senyum, Ia menyebut kegiatan yang
dijalani ini sebagai proses ”Belajar untuk Memahami”. Memahami diartikan yaitu:
melihat kondisi dirinya, permasalahan dan kebutuhan masyarakat serta profesionalisme
pendidikan yang terjadi di Depok.
Sebenarnya, Pak
Soleh termasuk pendatang baru dalam dunia anak-anak. Namun semangatnya cukup
memberikan warna dalam dunia pendidikan di Depok. Apapun warnanya, kini ia
harus merubah image penyandang cacat yang malas agar dapat hidup sekian lama. Di
Depok, cerita Pak Soleh selalu memberikan kesejukan dan harapan bukan hanya di keluarga
tapi di tengah-tengah carut marut pendidikan akhlak yang semakin buram.
Oya, bicara
memahami profesionalisme dalam bekerja, sebenarnya Pak Soleh sempat bekerja.
Namun ia dengan sukarela mengundurkan diri dari Perusahaan animasi anak dibilangan Jakarta Selatan. Pihak
menajemen mengakui semangat kerja Pak Soleh. Dengan menempatkan sebagai
marketing, omset perusahaan melahirkan target-target penjualan yang cemerlang.
Pak Soleh, banyak diakui bos-bos sebagai karyawan yang terbilang cerdas, semangatnya
dalam bekerja.
Cerita Pak Soleh Tentang Musibah itu
Siang
itu tepatnya tanggal 23 Februari 2011, pukul 09.00 wib. dalam kondisi cuaca
berawan, di sebuah jalan trotoar di kawasan perumahan Pondok Indah. Pak Soleh,
mengalami musibah kecelakaan sepeda motor yang dikendarainya. Kejadian bermula disaat bapak yang
sehari-hari bekerja hampir 2 tahun sebagai marketing disebuah perusahaan
Animasi dibilangan Jakarta Selatan ini beranjak dari kursi kantor untuk pergi
berkunjung mendatangi Cleannnya.
Tepatnya pukul
10.00 wib. Dengan kendaraan sepeda motor Honda keluaran Jepang tahun 2000 an,
seperti biasa ia selalu melalui jalan pintas (jalan tembus) perumahan Pondok
Indah, Jakarta Selatan, yang 100 m2 tidak jauh dari tempat kerjanya (daerah
Ciputat Raya, Pondok Pinang). “Memang jalan ini menjadi jalan tembus favorit
semua orang untuk akses ke dari berbagai arah , Blok M-Fatmawati dll,”kenang
Pak Soleh.
Musibah itu terjadi. Belum sempat
keluar dari perumahan tersebut tepatnya disebuah taman perumahan,tiba-tiba ia dikejutkan
berhentinya secara mendadak sebuah mobil minicup (buk terbuka) dari arah
putaran taman. Ia pun sempat menghindar dan berhenti. Namun ketika minicup mulai menyalakan stop
kontaknya, Bummm…, mobil yang biasa mengangkut sampah tersebut, dalam hitungan
detik menabrak motor Pak Soleh. Motor terpental dan ia terperosok bahkan
terseret masuk dibawah badan mobil. Dalam posisi setengah sadar, Ia langsung
terbaring lemah. Wajah, tubuh, kakinya berlumuran darah. Ia tak berdaya, hanya
sesekali ucapan keluar dari mulutnya dan sopir yang ternyata Satpam dikawasan
tersebut, langsung membawa Pak Soleh ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rs. Fatmawati.
Sesampai disana.
Kedua kakinya tak mampu digerakkkan. Istri, kedua orang tua hanya bisa berdoa
dan pasrah. “Mi, apapun yang terjadi
pada diri Abi. Umi tetap sayangkan pada Abi,”keluhnya terbata-bata menahan
sakit. Zubaidah, istrinya hanya bisa menangis,”Umi, Nazla, sayang Abi. Allah juga sayang Abi kok.
Sudahlah Abi jangan banyak bergerak,”pilunya membisik ke telinga suaminya.
Saat itu, kata
petugas administrasi untuk membiayai operasi pertama dan pengobatan sebesar + 37 juta, kedua orang tuanya gigit
jari, karena mereka hanya mengandalkan honor seorang guru ngaji sedangkan Istri
Pak soleh hanya seorang guru TK, yang penghasilannya pas-pasan. Pak Soleh
sendiri penghasilan tidak lebih dari 2 juta rupiah/bulan. Karena ketidakmampuan
biaya, Pak Soleh sempat meninggalkan RS. Fatmawati dan langsung dibawa ke
Pengobatan alternative, Cimande, Bogor. Hanya sempat dua hari, nafasnya sesak dan ia pun kembali harus dibawa
ke Rs.Fatmwati.
Ironis dokter
mengatakan, kondisi pipi kanan Pak Soleh harus dijahit, dokter juga mengatakan terjadi keretakan dan bergeser pada
tulang belakang, serta tulang leher. “Pak
Soleh segera dioperasi , untuk dipasang Ven (penyangga),”Saran pria yang
dijuluki Dokter spesialis tulang. Keluargapun kembali menarik nafas, pastinya
ia tidak mungkin mengandalkan upaya dari dana perusahaan tempat Pak Soleh
bekerja. Istrinyapun lekas bertanya, “Berapa biaya operasinya dok,”ucapnya
terbata. Dengan ramah dokter menjawab,” 40 juta bu..memang mahal tapi ini yang
terbaik,”jawabnya Dokter yang berusia setengah abad ini. Keluarga Pak Soleh
hanya bisa pasrah. Dalam benaknya mereka mengatakan ,”Belum bisa memastikan
dana awal yang 37 juta kini harus menanggung yang 40 juta ”.
Melihat biaya
yang besar, semua berpikir keras. Segala upaya dilakukan dari memohon dibeberapa
LSM serta donatur perorangan. “Alhamdulillah sebagian dana sudah dikeluarkan pada
perusahaan”, cerita Pak Soleh. Sedihnya, aku Pak soleh, “Satpam yang menabrak hanya
mampu membantu I,5 juta rupiah,”kenangnya. Tekad terus dijalankan untuk
kesembuhanku, “Alhamdulilah untuk operasi fihak Rs.memperbolehkan pembayaran
usai operasi,”papar Pak Soleh.
Semua bernafas
lega. Beberapa hari kemudian operasipun dilakukan. Pak Soleh terus berzikir.
Memohon perlindungan agar penyakitnya diangkat dan disembuhkan. Allah
mengetahui keprihatinan umatnya.
Memasuki Hidup Baru
Kini Pak Soleh
sudah memasuki hidup baru. Hati kecilnya masih berharap kesembuhan. Impiannya
menjadi pendongeng (bercerita pada anak) masih melekat ketika ia mulai
berbicara dan menyapa kepada teman-temannya ketika sakit. Sepulangnya dari Rs. dalam
tugasnya sebagai pendongeng, terlihat beberapa SMS yang masuk untuk panggilan
mendongeng, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan anak
bangsa.
Sekali lagi ayah
satu anak ini memulai impiannya atas dukungan teman-teman dakwahnya dan
keluarga besarnya. Hasilnya, dalam waktu kurang dari setahun, Sekolah yang
dibinannya meraih simpati warga Beji, Depok. Satu hal yang semua orang tahu,
Pak Soleh amat peduli, buktinya terbentuknya Sekolah ini, tidak memaksakan
setiap warga untuk membayar bayaran sekolah. Maka, ia berencana membangun
komunikasi dengan para pendongeng lain untuk mempelopori terjalinnya Forum
Silaturahim Para Pendongeng Disabilitas
(penyandang cacat). Perjuangannya yang gigih untuk mengantarkannya kelak menjadi orang berguna
untuk anak Indonesia dan negara. Bukan hanya itu, secara fenomenal ia
menempatkan dirinya sebagai Pendongeng islami yang cerdas (penyadang cacat).
Pada sisi
lainnya, upaya yang dilakukukan Pak soleh bersama istrinya, cukup memberikan
hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pupusnya kepercayaan kebanyakan orang
mengatakan orang cacat tak bisa berbuat banyak ternyata salah besar. Seiring
itu pula, tumbuhlah semangat kedua
pasangan ini yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan menuju keluarga
sakinah (keluarga bahagia dunia-akhirat).
Motto hidup Pak
Soleh adalah melayani umat untuk penyiaran dakwah Islam dan meninggikan agama
Allah. Menjadi setiap orang bungkam melihat kemajuan sang disabilitas ini. Meskipun dipaksa harus mencari dana-dana sana sini
untuk kemajuan sekolah yang didirikannya. Pak Soleh sangat kuat memegang
semboyan, “Bekerja atau tidak sama sekali”. Dulu tidak satu pun warga dan teman-teman
seperjuangannya percaya. Kini semua orang mengakui, jika Allah Berkehendak
semua akan bisa. “Yang penting kita ikhtiar setelah itu tawakal,”pungkasnya.
Tampaknya cerita
perjuangan Pak Soleh masih berlanjut, yaitu mentransformasikan memberikan nilai
semangat dalam menggapai asa walau harus mengunakan kursi roda.
*diilhami kisah nyata seorang disabilitas
(penyandang cacat) @2013